Wamena - Saat masyarakat Lembah Baliem mengenakan koteka, mereka
tak merasa malu ataupun risih. Bagi mereka, satu hal yang harus disadari
wisatawan adalah urgensi kelestarian baju tradisional Papua, termasuk
koteka, sebagai sebuah cermin budaya.
Rabu (8/8/2012), lapangan
luas di Distrik Wosilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, sudah ramai oleh
warga. Ini adalah hari pertama berlangsungnya Festival Budaya Lembah
Baliem (FBLB) 2012, yang akan berlangsung 4 hari lamanya.
Turis
domestik dan mancanegara menyambangi tempat ini untuk melihat kehidupan
masyarakat layaknya zaman prasejarah. Dani dan Lani, dua suku mayoritas
yang mendiami Lembah Baliem, melangsungkan kehidupan dengan cara
tradisional. Hal tersebut juga terlihat dari pakaian mereka.
Koteka.
Saya pertama kali mendengar kata itu waktu Sekolah Dasar. Dari segi
bentuk, rasa-rasanya tak mungkin benda itu jadi pelindung alat kelamin
pria. Bayangkan saja, tanpa menutupi bagian tubuh lainnya! Dalam hati
saya bertanya, apa mereka tidak merasa malu?
Namun bagi saya,
titik balik pemikiran itu muncul di hari pertama FBLB. Melihat para pria
asal berbagai suku mengenakan koteka, kedua pipi saya seperti mendapat
tamparan keras. Segala pendapat tentang rasa malu ataupun risih, hilang
sudah.
"Waktu mereka pakai semua itu, di dalam hati mereka merasa
bangga dan percaya diri, karena Tuhan memberikan mereka budaya itu,"
tutur Maximus, salah satu pemandu yang saya temui di FBLB hari itu.
Koteka
hanyalah salah satu bagian dari budaya Papua. Eksistensi koteka sebagai
pelindung alat kelamin pria sudah berlangsung ratusan tahun lamanya,
turun-temurun dan lintas generasi. Para pria mengenakan benda ini sejak
kecil. Ukurannya selaras usia, juga punya makna tertentu di balik bentuk
dan motifnya.
Sementara itu, para wanita Papua "bicara" budaya
lewat Sadli. Ini adalah rok berbahan jerami untuk menutupi bagian perut
sampai lutut. Mereka tak mengenakan apa pun untuk menutupi bagian dada.
Baik
pria maupun wanita Papua "mendekorasi" diri mereka dengan beragam
aksesori. Mikgadle misalnya, kalung berbentuk dasi yang terbuat dari
cangkang kerang. Ada pula Su (biasa dikenal sebagai Noken), tas anyaman
yang dikalungkan di kepala. Buntut anjing dan bulu burung seperti
Kasuari dan Cendrawasih juga digunakan sebagai aksesori.
Hampir
semua suku di Lembah Baliem mengenakan pakaian tradisionaldalam
keseharian mereka. Saat upacara adat dan festival budaya seperti yang
saya datangi hari itu, mereka mengenakan pakaian terbaik. Aksesori
ditambah, tubuh mereka dicat dengan warna merah dan putih yang kontras.
Semua
hal yang tergabung dalam pakaian tradisional itu merupakan bentuk
eksistensi setiap suku yang memakainya. Dengan lebih dari 265 bahasa di
seluruh Papua, hanya segelintir dari mereka yang fasih berbahasa
Indonesia. Inilah salah satu cara untuk memperkenalkan budaya mereka,
tanpa harus peduli akan bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar